Terbaru

Rabu, 11 April 2018

SEBUAH KEBAHAGIAAN DI BALIK RUMUS MATEMATIKA

SEBUAH KEBAHAGIAAN DI BALIK RUMUS MATEMATIKA


sinar matahari pagi mengilaukan mataku memaksaku untuk bangun dan bergegas pergi ke sekolah.
Tok...tok...tok...!
Pintu dibuka, aku mengarahkan pandangan ke arah pintu ternyata Bi Mina, “Den sarapannya sudah siap. Tuan dan nyonya sudah nunggu di bawah.” Ucapnya seraya tersenyum hangat.
“iya Bi, Alex akan segera turun.” Kataku dengan membalas senyum Bi Mina. Pintu kembali ditutup . aku bergegas ke kamar mandi sambil berharap akan mendapat senyuman hangat dari kedua orang ttuaku. Tapi, akankah ayah akan memberikannya? Aku menghela nafas panjang. Mungkin selamanya aku tidak akan mendapatkannya.
Setelah mandi dan berganti baju seragam aku segera turun dan bergabung bersama kedua orang tuaku. Seperti biasa, ayah selalu bersikap acuh tak acuh padaku, entah salah apa diriku. Semenjak aku lahir aku tidak pernah mendapat perlakuan manja dari ayah kecuali sikap cueknya itu.
Ibu tersenyum padaku, aku membalasnya, “apakah kalian hanya akan senyum-senyum saja sampai nasi ini menjadi basi? Dan aku tidak punya waktu untuk senyum-senyum seperti ini.” Kata ayah dengan cueknya.
Seusai sarapan aku mengambil tasku dan bersiap pergi ke sekolah tak lupa aku pamit pada ayah dan ibuku. “Bu, Alex berangkat ya... dah.” Ucapku  seraya mengecup pipi ibu. “Iya nak hati-hati.” Jawabnya. Aku mengangguk dan mengalihkan pandangan ke arah ayah. “Aku ada meeting mendadak Lex kamu bisa mengendarai motormu sendiri kan? Aku berangkat sekarang dah bu!” ucapnya berlalu tanpa sedikitpun senyuman yang ku dapat seperti yang kuharapkan setiap hari.
“Hati-hati ya ....” kata Ibu seraya mengelus pundakku memberi ketenangan.
Aku berlalu dari hadapan ibu dan mulai mengendarai sepeda motorku.  Apa gunanya aku berangkat bersama ayah kalau hanya ditemani kesepian?
Sesampainya di sekolah aku melihat teman-temanku sedang mengerumuni papan pengumuman entah ada be
rita apa sampai menarik semua perhatian temanku yang biasanya bersikap cuek pada papan itu.
aku memarkirkan sepeda motorku dan sedikit berlari ke arah mereka  bergabung untuk membaca tulisan besar di sana. Oh, ternyata akan diadakan lomba matematika se provinsi. Tiba-tiba aku terkejut. “What?! Aku diikutkan jadi wakil kelas! Kok bisa??? Aduh....!”
aku berbalik dan langsung menuju ke kelas. “Kok bisa sih aku diikutkan? Pasti ini kerjaannya Ibu Sumitra!” aku berjalan tanpa memerhatikan sekitar dan.... “Braak!!” kertas berhamburan. “aduh... maaf ya.” Aku kehilangan kata-kata setelah mengetahui siapa sosok di depanku. “apa begini caramu mengucapkan selamat pagi, main asal nimbruk orang!!”
“Maaf aku nggak sengaja kan....”  Ucapku seraya melembutkan tatapan dan langsung membuat kedua pipinya merah jambu, aku tertawa dalam hati. Dia Kandra cewek yang dikabarkan suka sama aku. Dia lumayan cantik tapi sayang aku nggak mau pacaran sekarang karena belum siap untuk sakit hati kalau sudah putus, hehehehe....
“ya sudahlah nggak apa-apa.” Ucapnya seraya membungkuk memunguti kertas-kertas itu dan aku pun ikut membungkukkan badan.
“Kamu mau apa?” Tanyanya.
“Mau bantu.”
“Untuk apa?”
“Untuk ini.” Ucapku seraya memunguti satu per satu  kertas-kertas itu yang tak lain adalah jawaban dari soal matematika. Aduh... mengingat hal itu kepalaku kepalaku jadi pusing. Tanpa sadar Kandra menatapku lekat dan lama sekali. Aku menggoyangkan tangan di depan wajahnya.
“Kandra!”
“.........”
“Kandra!!!”
“.........”
“Kan!!!”
“Eh iya... aduh aku...” dia terkejut dan salah tingkah dan aku mendapati pipinya semakin merah merona . aku tertawa sekeras-kerasnya dalam hati. “Aku duluan ya dah...” pamitku seusai menyerahkan lembaran kertas itu, menghiraukan apa yang tengaj dirasakan cewek itu sekarang.
Aku berjalan menyusuri  koridor-koridor yang lumayan panjang, dari kejauhan kelasku telah terlihat namun yang kudapati hanyalah keheningan tapi di dalam kelas banyak terlihat teeman-temanku. Entah apa yang terjadi biasanya kelasku tak seperti ini, sepi dan mencekam.
Aku melangkah masuk ke dalam kelas semua isi kelas menatapku dengan tatapan iba, “pagi.... ada apa ini kok pada diam.” Kataku memecah keheningan.  “Plak... Plak... Plak” aku membalikkan badan, penasaran dengan suara tepuk tangan yang tak diundang, “Si Jagoan kelas XII A telah datang rupanya, selamat good Luck Fans!” Kata Jason disertai dengan tiga orang asisten di sampingnya. Mereka adalah anak kelas XII B Geng Alexor yang paling ditakuti oleh semua murid di SMA Smart ini tapi tidak bagiku dan Willy. Kami berdua bisa dikatakan bergeng karena kemanapun kami berada selalu berdua tapi hanya di sekolah saja karena rumah kami berbeda arah.
Willy tiba di kelas dan langsung mendapatiku dikerumuni Geng Alexor. “Kalian mau apalagi huh!?” Ucapnya setelah berada di dekatku. Aku memegang pindaknya berusaha merdakan emosinya. “Wil... tenang dulu, mereka hanya memberiku semangat kok.”
Willy menghela nafas. “Ya sudah kalau begitu. Lalu kenapa kalian masih di sini? Kelas kalian sudah ada Bu Sumitra tuh, lima menit dari tadi ditungguin di depan pintu oleh beliau.”
“Yang bener loe?”
“Iya benar”
“Kalau salah, mau gue apain Loe?”
“Injak” Kataku.
Jason dan temannya berlari ke kelasnya dan dari balik jendela aku mendapati mereka berdiri dengan wajah pucat di hadapan Bu Sumitra yang tak lain adalah wali kelas mereka sendiri sekaligus guru yang paling menyebalkan bagiku karena dia selalu mengandalkan otak matematikaku di setiap ada lomba Pemecah Rumus Matematika yang membuatku semakin bosan akan hal itu.
“Lex... Kita duduk yuk sebentar lagi Ibu Reeytafa datang.” Kata Willy.
Benar kata Willy, 3 menit kemudian BU Reytafa datang. Beliau adalah wali kelasku. Guru yang paling membenciku. Entah apa salahku sehingga membuat dia amat membenciku. Setiap ada kesalahan di kelas ini pasti sasaran utama keamarahannya  adalah diriku, apa mungkin wajahku terlalu tampan dari suaminya sehingga dia merasa iri padaku. Hemm.... Entahlah.
“Pagi semuanya...!”
“Pagi... Bu!!!”
“Ada tugas?”
“Tidak ada Bu!”
“Okelah kalau begitu.” Bu Reytafa menarik nafas dan kemudian menjatuhkan pandangan tak suka padaku. “Ibu dengar akan ddiadakan lomba matematika tingkat provinsi dan sekolah kita ini akan diikutkan perkelas 5 perwakilan.” Dia menarik nafas sekali lagi. “Kalian tahu siapa yang mewakili kelas kita?”
“Tahu Bu!” Jawab anak-anak serempak.
Aku menundukkan kepal.
“Siapa?”
“Alexandra Bradiansyah Bu...”
Aku semakin menundukkan kepala. “Kalian yakin dia akan menang?” Tanyanya sambil melirik diriku yang menundukkan kepala. “Yakin banget Bu....!!” Jawab anak-anak. Aku mengangkat kepala dan tersenyum hambar ke arah teman-temanku.
“Kalau ibu tidak yakin menang bagaimana?” Aku kembali menunduk. “Ibu ini bagaimana. Anaknya mau ikut lomba tapi tidak diberi keyakinan dan kepastian, gimana mau menang kalau wali kelasnya sendiri bukan mendukung tapi malah membuat dia bingung.” Kata Willy. Aku mencubit lengannya tapi dia tidak menghiraukanku dan tetap saja menatap BU Reytafa dengan tatapan kecewa.
“Bukannya begitu, tapi ibu hanya ragu akan kemampuannya. Kalian lihat sendiri kan nilai matematikanya tinggi tapi kenapa nilai fisika rendah.sangat tidak masuk akal kan.” Katanya tersenyum sinis ke arahku. Willy mengeram, “Yang tidak masuk akal itu siapa? Ibu atau Alex, seharusnya Ibu berpikir dylu tentang perasaannya bagaimana, kalau Alex hanya mampu di bidang matematika mau gimana lagi Bu, apa lagi ini lomba matematika bukan fisika. Seharusnya Ibu bangga punya urid seperti dia dengan otak matematikanya itu yang bisa memecahkan rumus tersulit seperti seorang profesor.”
Aku tersenyum pada Willy, “Jangan seperti itu Wil, sudahlah mungkin aku bisa bilang ke Bu Sumitra agar aku bisa mengundurkan diri  karena Bu Reytafa tak ingin aku untuk ikut dalam lomba itu.” Ibu Reytafa tersenyum kecut . “Okelah kalau kamu sadar, nanti aku juga akan bilang ke Bu Sumitra supaya menggantimu dengan Sandra.”
“Loh… jangan seperti itu dong Bu, walaupun Ibub itu wali kelas tapi jangan berbuat sesuka hati Ibu, Lex ayolah Lex jangan cepat menyerah seperti itu dong.” Ujar Willy seraya menatapku kecewa. “Iya Bu benar, lagipula Ibu belum minta persetjuan saya tapi walaupun Ibu telah melakukannya itu semua akan sia-sia Bu karena aku tidak akan pernah mau, saya disbanding Alex masih belum ada apa-apanya. Saya hanya bisa mengerjakan soal biasa saja sedangkan dia bisa memecahkan rumus-rumus Bu.” Sambung Sandra seraya melirikku.
“Betul Bu…!” Sambung yang lainnya.
“Ibu Reytafa menatapku tajam. “Tapi kan kamu bisa belajar San dan Ibu yakin kamu pasti bisa, lagi pula lombanya masih minggu depan. Kalau Alex ku rasa masih ragu-ragu buktinya tahun lalu dia hanya mendapat juara II bukan pertama, lalu apa yang masih diharapkan oleh kita?”
“Masih untung juara II Bu dari pada harapan II.” Sambung Reno. Dia menyindir anak BU Reytafa yang dengan sombongnya mengikuti lomba Smart Contest se kabupaten waktu itu, namanya Thomas. Dia sepanjang perjalanan mengejek diriku, mencela, dan memaki. Sampai-sampai sepatu Bu Mala guru Fisikaku melayang ke wajahnya. Hmmmm.... Ibu dan anak sama saja.
Wajah Bu Reytafa merah padam. “Tetapi keputusanku sudah bulat.” Dia menarik nafas. “Apapun yang terjadi Ibu tetap akan mengusulkan Sandra.” Lanjutnya. “Tapi Bu, saya dengar keputusan itu tidak bisa diubah lagi. Semua perwakilan akan diberangkatkan dua hari sebelum lomba tanpa terkecuali.” Sambung Ridho. Ibu Reytafa mengangkat kedua alisnya. “Siapa yang bilang seperti itu Ridho?” Tanyanya. “Saya." Ucap Bu Sumitra. Entah kapan Bu Sumitra sampai tiba-tiba saja Bu Sumitra berada di ambang pintu. Semua pasang mata mengarah padanya termasuk bu Reytafa. “Benar apa yang dikatakan Ridho, semua guru termasuk bapak kepala sekolah telah menimbang semuanya dan keputusan ini tidak dapat diubah lagi. Semua data siswa yang ikut lomba sudah dikirim ke pusat dan tidak bisa dicabut lagi. Jika Ibu keberatan silakan Ibu mengajukannya ke kepala sekolah. Namun semua itu tidak akan mengubah keputusan yang sudah ditentukan.” Ucap Bu Sumitra sambil menghela nafas. “Saya sarankan kepada Ibu untuk tetap di sini, jangan gegabah kita tunggu hasilnya nanti.” Lanjutnya.
“Tapi kan....”
“Jika Ibu masih mengelak, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi jika Ibu masih meragukan kemampuan Alex sebaiknya Ibu cepat sadar karena Alex tidak seburuk yang Ibu pikirkan begitu pula dengan Sandra. Dan sebaiknya Ibu berbesar hati menunggu keputusan hari yang telah ditentukan. Pihak sekolah tidak mau semuanya kacau hanya karena keraguan Ibu.” Lanjutnya seraya berlalu sungguh seorang guru yang bijaksana . ibu Reytafa mengerutkan kening dan menatapku sinis. “Sampai kapanpun Ibu tidak akan menyetujuinya!” Ucapnya seketika sambil berlalu dari kelas. Mungkin beliau ngambek.
Semua isi kelas mentapku iba. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati ternyata masih ada  orang yang mendukungku meski tak banyak. “Tenang Lex  kami semua mendukungmu.” Kata Willy seraya mengelus pundakku diiringi anggukan semua isi kelas. Sandra tersenyum manis padaku. “Terima kasih atas semuanya kawan.”
***
Lomba semakin dekat, aku akan menghadapi ratusan soal dan berperang dengan rumus-rumus. Dengan bantuan Sandra dan dukungan dari semua temanku, aku bisa memperoleh sedikit kekuatan terlebih saat Ibu mengetahui semua ini. Ia sangat bahagia dan menaruh harapan besar padaku. Namun lain halnya dengan ayah, dengan cueknya Ia berkata, “Guru-gurumu pasti akan kecewa karena telah memilih dirimu.” Begitulah yang dikatakannya waktu itu. Tatapi, biarlah apapun yang dikatakannya aku tak peduli. Sudah puas aku menangis sejak kecil karena sikap ayah tapi tidak sekarang. Kata-katanya bukan malah merontakkan semangatku bahkan membuat semangatku semakn berkobar. Akan ku buktikan pada semua orang yang meragukan kemampuanku terutama pada ayah dan Bu Reytafa bahwa aku Alexandra Bradiansyah tak seburuk seperti yang mereka pikirkan.
***
Lomba telah dimulai, ratusan soal berhasil aku pecahkan tinggal satu soal yaitu rumus Teorema Phytagoras. Rumus ini adalah rumus yang paling mudah bagiku. Akhirnya selesai sudah... setelah 2 jam istirahat aku menunggu pengumuman. Mulai dari juara harapan 1 sampai 3 aku tak mendengar namaku dipanggil tetapi ketika memasuki juara satu atau juara umum tiba-tiba....
“Juara satu diraih oleh.... peserta bernomor urut 5 atas nama Alexndra Bradiansyah dari SMA Smart!” suara tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Aku pun tidak percaya bahwa akulah yang meraih juara I. Semua mata tertuju padaku . Tanpa sadar aku sadari Ibu Sumitra memelukku. Kemudian aku pun naik ke atas panggung untuk menerima hadiah.
Sesampainya di sekolah aku disambut secara meriah oleh teman-temanku, para guru, dan .... ayah?? Kenapa ayah bisa ada di sini? Bukankah Ia... “Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud membencimu tapi wajahmu mengingatkan ayah pada almarhum kakekmu yang dulu menelantarkan ayah. Ayah bersikap seperti itu bukan berarti ayah membencimu. Tapi percayalah ayah sangat menyayangimu.” Aku tidak kuasa menahan air mataku. Akhirnya aku menangis di pelukan ayah... ayah... sosok yang selama ini aku rindukan sikap hangatnya akhirnya aku menapatkannya dan Bu Reytafa aku melihat beliau tersenyum padaku. Aku bahagia sekali hari ini karena sebutir kebahagiaan itu bersembunyi di balik rumus matematika.

By: Ridantia El-Da


Disclaimer: Images, articles or videos that exist on the web sometimes come from various sources of other media. Copyright is fully owned by the source. If there is a problem with this matter, you can contact